Kamis, 08 Juli 2010

URUSAN BATAS NEGARA KOK CUMA PATOK?

Kuching, Malaysia 2003,

Seorang intel polisi bercerita padaku. Ada tempat persembunyian pasukan polisi atas gunung di perbatas kalimantan dan Entikong. Pasukan ini berada di situ selama berhari-hari. Tugas mereka adalah menyelidiki aktivitas sebuah rumah yang diduga sebagai tempat sindikat perdagangan manusia.

Selama beberapa hari melakukan penyelidikan, ternyata dugaan mereka benar. Sebuah rumah yang berada di kaki gunung itu memang dibangun sebagai ”rumah transit”, dimana berisi para pekerjaan seks komersial (PSK) yang akan dijual ke Khuching, Malaysia.

Kenapa aku sebut ”rumah transit”? Karena sebelum dijual, PSK-PSK diinapkan di rumah itu. Sementara kalau ada PSK yang hamil, maka ”rumah transit” itu akan menampung sampai PSK tersebut melahirkan. Setelah bayi lahir, si Ibu harus kembali bekerja di Khuching. Namun tentu saja si Ibu sudah dijerat hutang oleh si pemilik ”rumah transit” itu. Hutang merawat sang Ibu selama masa hamil, membayar dokter pada saat melahirkan, dan tentu saja memberikan asupan gizi pada sang jabang bayi.

Yang menyedihkan lagi, bayi PSK tersebut dipegang oleh ageng di ”rumah transit” itu. Tujuannya tidak adalah upaya agar PSK setiap bulan bisa melunasi hutang-hutannya. Itulah yang membuat PSK ini harus bersedia ekstra kerja keras melayani tamu sepanjang malam, termasuk melayani pada masa haid. Sungguh biadab bukan?

Nasib si bayi yang ada di tangan ”agen jahat” itu pun belum selamat 100%. Kenapa? Sebab, jika PSK tersebut dianggap ”ngeyel”, tidak bayar hutang, bayi tersebut siap untuk diperjual belikan, apalagi jika bayi yang lahir itu normal dan lucu. Kalau bayi itu normal dan kemudian akan dijual, ”agen jahat” itu akan memakai kedok adopsi. Apabila kurang sempurna, bayi dimanfaatkan untuk perdagangan obat bius atau penjualan organ. Benar-benar kejam!

Aku stress bukan kepalang. Bagaimana ini bisa terjadi?


Lihat! Batas negara Indonesia dan Malaysia cuma begini saja. Foto kiri adalah batas yang berada di Malaysia. Foto kanan adalah batas yang ada di negara Indonesia. Foto bawah adalah aktivitas penduduk perbatasan, dimana mereka dengan mudah masuk ke wilayah Malaysia. Inilah yang membuatku tidak habis pikir, kok membuat perbatasan wilayah dua negara kayak main-main ya?


Luas perbatasan Indonesia dengan Kuching, Malaysia sekitar 900 km. Dengan luas perbatasan darat tersebut, pemerintah setempat menganggap sulit dan tidak mungkin dipasang pagar. Ya, paling hanya patok yang hanya dimengerti oleh masing-masing dinas pemerintah daerah. Buatku, ini sungguh aneh. Urusan batas negara, kok cuma patok?

Benar kan? Masyarakat yang tidak tahu tentang batas wilayah, tentu saja tidak mau ambil pusing tentang rumah tetangganya, yang ternyata sudah masuk wilayah Malaysia. Atau sebaliknya orang Malaysia masuk wilayah Indonesia. Ya, tinggal berjalan beberapa kilo meter saja, mereka sudah memasuki wilayah asing alias wilayah perbatasan itu. Biasanya jika mereka bertemu dengan pihak keamanan dan ketika ditanya tidak mempunyai identitas, maka penduduk yang masuk ke negara lain dianggap ilegal. Ini bisa menjadi awal yang buruk. Padahal belum tentu penduduk punya niat masuk ke negara tetangga untuk bekerja. Kebetulan mereka ada yang merupakan penduduk asli yang tidak mengerti batas negara. Itulah kenapa batas negara sangat perlu dibuat, tidak cuma sekadar patok saja.

Perjalanan yang aku tempuh bersama para anggota DPR komisi X ini benar-benar membuat dadaku sesak. Oh iya, para anggota DPR tersebut hadir di wilayah perbatasan waktu itu dalam rangka ingin membuat rancangan UU Anti-trafficking.

Aku sempat beristirahat di sebuah LSM yang khusus menampung TKI yang berhasil melarikan diri masuk kembali ke wilayah Indonesia dan TKI yang berhasil diselamatkan. Saat beristirahat, aku membaca sebuah surat kabar, dimana ada berita tentang seorang perempuan muda meninggal akibat kehabisan darah. Perempuan ini dibuang di perbatasan oleh pihak Malaysia. Di sekujur tubuhnya banyak bekas luka suntikan. Menurut surat kabar itu, perempuan ini adalah korban perdagangan manusia untuk penjualan darah. Sungguh kejam! Dengan kejadian-kejadian seperti ini, aku jadi bertanya, apa tindakan pemerintah ya?

(bersambung)

1 komentar:

  1. saudara Ahmad Najimi,

    sekedar memberi masukan sesama rumpun melayu, dapatkah anda memisahkan antara urusan perniagaan dengan urusan kenegaraan, ada benarnya pendapat anda namun ulasan dari saudari Dewi Huges sudah tepat yang disampaikan, karena ini sangat berhubungan erat dengan kelangsungan persahabatan antara dua negara, haruslah memiliki aturan yg tepat, agar kita kedepan bisa bersama-sama mengurusi perbatasan tersebut, dimana pemerintah Raja malaysia dan Republik indonesia punya acuan yang jelas, contoh kecil: kebetulan saya orang melayu sumatra, ada dendang yang berbunyi laksana diraja tentulah punya aturan, dan aturan tentulah jadi pedoman, karena pedoman yang akan dijalankan rakyat dan pejabat-pejabatnya.

    Bila aturan dan pedoman sudah jelas (patok/tembok/pagar/pertanda) suka tidak suka semua harus ikut aturan dan pedoman.

    salam buat saudaraku Ah. Najimi
    jabat

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.