Kamis, 29 Juli 2010

NIKMATNYA ES KRIM ZANGRANDI

Tiap ke melancong ke Surabaya, saya pasti mampir ke ke kedai es krim ini. Kedai es krim ini mengingatkan saya pada kedai es krim Raguza yang ada di jalan Veteran, Jakarta. Itu-tuh, samping masjid Istiqlal. Yakni sebuah kedai es krim jadul yang sudah ada sejak zaman Belanda.

Es krim Zangrandi berlokasi di Jl. Yos Sudarso, Surabaya. Tepatnya di samping Garden Palace Hotel. Kalo dari arah seberang, kedai ini persis di depan kantor DPRD Jawa Timur. Tahu nggak, dulu kantor DPRD itu adalah bioskop. Wah, saya ngebang, dahulu mda-muda sebelum atau sesudah nonton bioskop, pasti nongkrong di sini.



Perhatikan foto lokasi kedai es krim Zangrandi dulu dan kini.


Es krim ini didirikan sejak tahun 1930 oleh warga negara keturunan Italia bernama Renato Zangrandi. Nah, jadi tahu kan sekarang kenapa kedai ini bernama Zangrandi. Ternyata memang berasal dari nama sang pemiliknya.

Nasib baik membuat bisnis Zangrandi di tahun-tahun itu tidak diobok-obok Belanda, padahal saat itu Belanda masih banyak bercokol di Surabaya. Yang menyebabkan Zangrandi eksis, karena ternyata saat itu noni-noni Belanda ketagihan menyeruput es krim, dimana es krim yang dijadikan bersasal dari olahan tangan alias hand made, bukan buatan mesin.

Rupanya olahan tangan yang dibuat di kedai Zangrandi ini sesuai dengan lidah orang-orang Belanda. Ternyata orang Italia tidak cuma pandai buat pizza aja ya? Walhasil, selama mereka bercokol di Surabaya, kedai ini tetap eksis.

Ketika zaman peralihan, orang-orang Belanda kerap melakukan meeting dengan pribumi di kedai ini. Sambil makan es krim, mereka ngomongin politik. Lucu juga ya? Politik dan es krim. Eh, rupanya lidah pribumi juga suka dengan es krim Zangrandi ini. Nggak heran sampai sekarang, meski sudah 80 tahun, kedai es krim Zangrandi tetap eksis.

Soal jenis es, ada bermacam-macam. Ada Chocolate Twinkle, Noodle Ice Cream, Soda Ice Cream, Avocado Fudge, Tropicana Fruit, Crispy basket, Zangrandi Pie, Horn, Macedonia, Royale Peach, Banana Split. Ada pula es krim dalam bentuk slices yaitu Tutti Frutti, Satay Ice Cream, Surabaya Moon, Pudding Ice Cream. Namun yang paling laris salah satunya Macedonia. Namanya berbau-bau Italia ya? Haha...yaiyalah kan dulu yang punya orang Italia. Oh iya, Macedonia ini punya banyak pilihan. Anda boleh pilih rasanya, misalnya rasa Kopyor, Raspberry, Strawberry, atau Vanilla. Kalo saya sukanya Vanilla plus Kopyor ditambah sedikit rhum. Muantabs!


Kursi jadulnya masih tetap dipertahankan.

Bentuk penyajian es krim yang hand made ini unik baget. Bukan kayak es krim biasa yang dibiarkan membulat di gelas, tetapi dibentuk kayak huruf "V", sementara ceruknya yang ada di tengah jadi tempat rhum.

"Nyumi banget ya, bo!" komentar Brill, teman saya yang baru pertama kali menyeruput es krim ini.

Yaiyalah, nyumi! Kalo nggak nyumi, pasti kedai ini nggak bakal lama umurnya. Komentar saya ini memang bukan basa-basi. Sebab, sejak married, tiap pergi ke Surabaya bersama suami saya, saya selalu mampir ke kedai ini. Kedai ini memang sudah jadi favorit suami saya sejak kecil.


Saya dan Brill. Sama-sama ketagihan begitu merasakan kelezatan es krim hand made ini. Nyumi!

Selain cara pembuatan es krim yang hand made ini yang tetap dipertahankan, suasana ala Belanda pun tetap dilestarikan. Sejak berdiri sampai 2010 ini, kedai ini tetap mempertahankan bangunan Belanda yang artistik itu. Kursi-kursinya pun yang terbuat dari rotan, tetap dipertahankan keasliannya. Cuma warna kursinya saja yang diperbaharui, dari warna asli rotan kini diwarnai merah.

Kalo Anda menyempatkan diri mampir ke situ, paling asyik kalo sore menjelang malam. Apalagi pilih tempat duduk yang ada di pinggir pintu. Anda akan menikmati suasana sore, dimana matahari mulai terbenam, lampu-lampu jalan mulai menerangi jalan, sambil nyruput es Macedonia, widih mak nyos banget dan serasa jadi meneer-meneer dari Belanda.

Itu kalo Anda pilih menyruput es krim Zangrandi di lokasi aslinya, lho yang di jalan Yos Sudarso. Tetapi kalo yang di outlet lain, ya nggak begitu. Lho memangnya es krim Zangrandi ada outlet lain? Oleh karena kepopuleran serta kelezatan es krimnya, Zangrandi buka cabang di es krim Zangrandi juga mempunyai beberapa cabang di Surabaya, yaitu di Galaxy Mall, Tunjungan Plaza, Plaza Surabaya, Mall Atum, Pasar Atom, dan Bonnet Supermarket.

Saya membayangkan, barangkali asyik juga ya kalo di kedai es krim ini ada sebuah perpustakaan. Sambil menyeruput es krim, orang bisa membaca buku. Jadi, selain perut kenyang, otak pun "kenyang" dengan ilmu pengetahuan.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya






































Minggu, 25 Juli 2010

EVENT SERU DALAM RANGKA HARI ANAK DI TBM @ MALL

Dalam rangka Hari Anak Nasional 2010 yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2010, Taman Bacaan Masyarakat di mal (TBM@Mall) menyelenggarakan event seru. Selain lomba mewarnai dan menggambar, ada pula lomba puzzle, game, dan kuis, ada pula seminar singkat untuk para orangtua dan anak.

Dalam lomba gambar, terdiri dua kategori peserta. Kategori pertama adalah kelompok A yang berusia 5-8 tahun. Sedang kategori berikutnya, yakni kelompok B, pesertanya terdiri dari usia 9 sampai 12 tahun.











Sebelum lomba, orangtua dan anak-anak diberikan pengetahuan kesehatan tentang pentingnya menjaga kesehatan dalam keluarga. Seminar yang berjudul "Lingkungan Sehat Untuk Masa Depan Anak-anak" ini diakhiri dengan peragaan bagaimana seharusnya mencuci tangan dengan baik.

Event yang berlangsung di TBM@Mall cabang Blok M Mall, Jakarta Selatan ini terselenggara berkat kerjasama antara TBM@Mall yang digagas oleh Dewi Hughes International Foundation dengan IntComp's dan Yayasan Kamapala. Mereka jua menggandeng pihak sponsor yang turut membantu dalam pelaksanaan event ini. Selain Penerbit Erlangga, ada pula pihak Seaworld, Indofood, Kiddo, Garuda Food, serta perusahaan multivitamin Kamulvit.

Selama anak-anak mengikuti lomba mewarna dan melukis, para orangtua menikmati pameran serta belanja aneka barang yang stand-nya ada di di depan TBM@Mall. Selain stand penerbit Erlangga, ada pula stand permainan anak-anak yang edukatif.







Event seperti ini nantinya akan berlangsung reguler. Bukan cuma diselenggarakan di TBM@Mall di Blok M Mall, tetapi di TBM@Mall lain, baik di Jakarta maupun di kota-kota lain. Oh iya, dalam kesempatan di event ini, Dewi Hughes International Foundation juga mempromosikan Hughes Star Academy yang akan membuka kelas-kelas seru, mulai dari public speaking, broadcasting, jurnalistik, photography, maupun melukis.

Bagi Anda yang menginginkan informasi mengenai kelas-kelas yang akan diselenggarakan oleh Hughes Star Academy ini, silahkan hubungi kak Brill di 0819-08097077 atau e-mail ke bkjn21@yahoo.com.







all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Jumat, 23 Juli 2010

MENGAJAR PUBLIC SPEAKING BUAT CALON REPORTER CILIK

“Gimana sih cara mengatasi gugup, Kak?”

“Ekspresi beda nggak sama mimik?”



Itulah sebagian pertanyaan anak-anak pada saya, saat saya mengajar di kelas Kids Reporter 2010 yang berlangsung pada tanggal 21 Juli 2010 di Hotel Tropical, Jakarta Barat. Di kelas ini, saya mengajarkan public speaking untuk anak-anak ini.

Kelas public speaking ini adalah salah satu event yang digelar Danone Aqua dalam rangka ajang pencarian reporter cilik untuk meliput World Final Danone Nations Cup 2010 yang akan berlangsung di Afrika Selatan. Keren nggak tuh? Nah, supaya komunikasi mereka mantabs, saya ditunjuk oleh Danone Aqua untuk men-training ketujuh anak ini public speaking.




Saya takjub, pertanyaan-pertanyaan ketujuh anak ini. Mereka pintar-pintar! Maklumlah, mereka adalah anak-anak pilihan dari 6 kota besar yang menjadi ajang seleksi 22 Mei sampai 22 Juni 2010 lalu. Kota-kota besar yang dimaksud adalah Yogyakarta, Makassar, Semarang, Medan, Bandung, dan tentu saja Jakarta. Jangan-jangan ada di antara ketujuh anak ini adalah anak Anda?

Anak-anak ini akan dihadirkan ke Jakarta untuk diasramakan. Istilahnya masuk ke Training Camp. Di camp ini mereka akan di-tarining. Ada dua kali Training Camp. Training Camp I dilaksanakan pada 24-25 Juli 2010. Setelah tanggal itu, mereka masuk ke Training Camp II. Anak-anak yang terpilih jadi Kid Reporter, akan berangkat ke Afrika Selatan pada tanggal 29 Sep-3 Oktober 2010.


Saya bersama ketujuh perwakilan Kid Reporter 2010. Mereka pintar-pintar, lho!


Seperti yang saya ceritakan di atas, pertanyaan-pertanyaan mereka luar biasa cerdas. Namun, seringkali ketika ada pertanyaan, jawaban mereka pun sungguh tidak terduga. Bisa jawaban yang betul, bisa jawaban yang menggelikan, seperti jawaban dari pertanyaan di atas tadi soal mengatasi cara gugup. Jawaban ini diutarakan oleh wakil dari Makassar. Anda tahu jawabannya apa?

“Caranya, kamu lari-lari di tempat sampai berkeringat. Nah, kalo sudah berkeringat, dijamin, kamu tidak akan gugup lagi.”

Oh iya, ngomong-ngomong soal public speaking, saat ini saya di bawah naungan HUGHES STAR ACADEMY sedang membuka kesempatan bagi para sekolah yang mau memasukkan ekstrakurikuler public speaking. Nah, di kelas ini, saya akan datang ke sekolah dan mengajar public speaking untuk siswa-siswi, mulai dari SD sampai SMA. Kalo ada sekolah yang tertarik, bisa hubungi langsung ke mas Brill di 0819-08097077 atau e-mail ke bkjn21@yahoo.com.

Yang menarik, selain kelas public speaking, HUGHES STAR ACADEMY ini ada materi tambahan lain yang keren, lho, yakni kelas jurnalistik, menulis, membuat komik, maupun membuat film.



all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sabtu, 17 Juli 2010

COMMUNITY READING CENTERS AT MALLS

Post reading activities are implemented by developing community reading centers at public spaces that include villages, worship places, orphaneges or other social centers, markets, hospitals, and malls. Up to 5,600 community reading centers in Indonesia and in 2010, there will be 561 additional community reading centers in public spaces. There are literate environment is also strenghened by reading and writing forum, competitions, publication of reading culture in mass media, and award giving to creative works in improving reading culture, for example publication of 100 best caught in reading pictures.

The followings are examples of forum activities and community reading centers at malls.

Indonesian Government have shown their seriousness and commitment in realizing the idea of building community reading center in public places and shopping centers (in this case, malls) through the following actions:


"Now we have more than 10 TBM @ Mall," said me. "Next we will have more that 10 to 15 TBM @ Mall in Indonesia".



> The launching of TBM @ Mall was held exactly on the same day of Indonesian Education Day on May 2, 2010. The launching program was relayed nationally on television by a national channel, RCTI and tvOne.

> The grand opening ceremony of TBM @ Mall was conducted by the Education Minister of Indonesia and the director of the Village Malls that is one of the Big Shopping Canter Enterprises owning many branches in Indonesia symbolically opened it.

The reason for opening TBM @ Mall is to serve malls'visitors who are 50 of them are teenagers, 25% are senior people, and 25% early childhood people. This is also aimed at using Corporate Social Responsibilities (CSR) of Shopping Center Enterprises, publishers, and other community resources.


(Source: Book of Improving Literacy For All: A National Movement for Empowering Indonesian Community, publising Ministry of National Education Republic of Indonesia, pages 53-54)

TULISAN-TULISAN TENTANG TBM@MALL

Saat ini Taman Bacaan Masyarakat di Mall atau yang dikenal sebagai TBM @ Mall sudah banyak. Di Jakarta sendiri sudah dua, yakni di Blok M Mall dan Plaza Semanggi. Tidak akan lama lagi akan muncul di Pejaten Village, Pejaten, Jakarta Selatan. Sementara ada di Bandung, kemudian di Surabaya, dan juga di Medan.



Banyak orang yang sudah merasakan manfaat sejak kehadiran TBM @ Mall. Beberapa tulisan mengenai TBM @ Mall juga sangat positif. Hal tersebut jelas cukup membanggakan buatku dan tentunya buat Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Sebab, program ini yang salah satu tujuannya adalah menuntaskan buta aksara dan meningkatkan minat baca masyarakat dianggap tepat sasaran.

Nah, berikut ini beberapa tulisan mengenai TBM @ Mall yang bisa Anda baca. Selamat membaca!













KENAPA TBM HARUS DI MALL?

Saya senang pertanyaan ini muncul. Sebab, itu berarti apa yang saya lakukan telah menggugah hati anda untuk angkat bicara. Tentang apa lagi kalo bukan tentang pemikiran Anda yang jauh lebih spektakuler, dari apa yang telah saya lakukan.

Memang anyak yang berpikir, kenapa di mall? Kok tidak di ruang publik yang lain? Misalnya di terminal, stasiun kereta, rumah sakit, kelurahan, sekolah, PKBM atau tempat lain?

Saya senang banyak orang berkomentar. Artinya kami berhasil mengajak banyak orang tergerak memberi sumbangan pikiran untuk pengentasan buta aksara di Indonesia. Lebih dari itu : SETIAP ORANG INDONESIA AKAN MENGAMBIL PERAN DALAM PENGENTASAN BUTA AKSARA DAN IKUT MENCERDASKAN BANGSA.

Sebuah teori komunikasi mengatakan: sebuah diskusi atau percakapan bisa menjadi lebih berguna apabila kawan diskusi kita mempunyai rasa antusias dan penasaran (biasanya dengan banyak mengajukan pertanyaan dan gagasan baru). Nah, sekarang saya jadi bersemangat untuk memberi penjelasan yang sepertinya lumayan panjang dan lebar, karena saya yakin, anda berminat untuk tahu lebih banyak dan mau ikut berperan aktif dalam upaya pengentasan buta aksara, ya kan?



Saya didampingi oleh ibu Lilik Sulistyowati (Kasubdit Pendidikan Perempuan Kementerian Pendidikan Nasional) di seminar yang diselenggarakan di Hotel Maharaja.

TBM memberi ruang baca dan meningkatkan minat baca

Sebenarnya saat ini, Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) -khususnya PNFI (Pendidikan Non Formal Informal)- telah menginisiasi dan mendanai hampir sekitar 6.000 TBM di hampir seluruh Indonesia, dimana letaknya di ruang-ruang publik di pelosok pedesaan, bahkan pedalaman. Ini baru satu Kementrian lho.

Kemendiknas menyediakan dana bantuan khusus untuk program TBM ini. Bayangkan, pada tahun 2009 saja, terdapat 759 juta orang dewasa buta huruf. Yang memprihatinkan, 2/3 diantaranya adalah perempuan. Menurut proyeksi, apabila tren seperti terus berlangsung, maka sedikitnya akan terdapat 710 juta orang dewasa buta huruf pada tahun 2015! Mengerikan bukan?

Ada kalimat bijak: kalau seorang laki-laki pintar, kita bisa menyelamatkan 1 orang laki-laki dan kalau seorang perempuan pintar, kita bisa menyelamatkan satu rumpun. Lho, kok bisa? Penjelasannya begini, kalau para ibu tidak bisa membaca, bagaimana kita bisa mencerdaskan anak-anak dan mengarahkan bangsa kita ke arah yang lebih baik? Bukankah membaca adalah jendela dunia, bukankah membaca juga yang diperintahkan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad pada wahyu-Nya yang pertama kali turun?

Banyak upaya telah dilakukan untuk pengentasan buta aksara. Sayangnya, setelah mendapatkan sertifikat melek aksara, banyak perserta kemudian kembali menjadi buta aksara, karena tidak terlatih membaca. Salah satu penyebabnya mereka tidak mendapatkan akses untuk membaca, buku atau bahan bacaan sulit didapat.

Meski TBM dan mobil perpustakaan keliling ada, hal tersebut tidak sertamerta menjadikan masyarakat jadi gandrung membaca. Banyak orang masih merasa tidak perlu membaca, karena merek cukup mendengar saja.

Kalau mau jujur, banyak orang Indonesia sebenarnya lebih suka mendengerkan dongeng daripada membaca dongeng, ya kan? Kita lebih senang menonton TV daripada membaca. Lebih suka menonton pertunjukan wayang daripada membaca buku tentang cerita wayang. Lalu apa dong upaya yang bisa kita lakukan agar orang merasa membaca adalah sebuah kebutuhan?



Lebih baik kita berbuat sesuatu, meski dianggap "kecil", daripada kita mengkritik tetapi tidak melakukan apa-apa.

Kita harus membuat langkah kreatif, dengan mengkampanyekan, bahwa membaca adalah sesuatu aktifitas bergengsi dan kini menjadi tren. Kalau tidak membaca tidak keren! Kalau duduk menunggu sambil membaca, berarti tidak intelek dan keren.

Saya analogikan bagaimana dahulu hanya orang-orang the have (golongan mampu) yang menggunakan handphone, lalu kelas menegah mengikuti, lalu sekarang semua pakai handphone. Tidak cuma kaum the have, pengamen, abang becak dan penjual sayur pun kini memakai handphone. Hal tersebut menunjukan, ada sebuah trend yang berhasil dibangun. Apakah itu? "Hari gini ngga punya handphone???? Ke laut aja!"


Mall sebagai pusat peradaban dunia modern dan Trend setter.

Sebuah artikel di koran Kompas menulis, mall telah menjadi pusat peradaban dunia modern. Saya setuju, bagaimana tidak. hampir semua kegiatan berpusat di mall. Tidak cuma belanja, tetapi arisan, kumpul keluarga, ibadah, dan bahkan sekolah dan kursus, banyak yang mempergunakan mall sebagai tempat.

Sering kali orang pergi ke mall, kebetulan sambil menunggu salah satu anggota keluarga yang berbelanja, rela membaca sambil berdiri di toko buku Anak-anak juga hanya bisa bermain di pusat-pusat mainan yang musiknya hingar bingar dan mengajarkan kekerasan.

Rasanya hampir semua kalangan datang ke mall. Kalau begitu, kenapa tidak kita buat taman bacaan di mall saja? Itulah awal gagasan itu terbentuk. Taman bacaan itu kemudian kita namakan TBM@Mall supaya lebih keren. Tujuannya semata-mata untuk merangsang minat baca, menyediakan fasilitas membaca gratis, dan berujung menciptakan tren membaca dari kalangan menengah keatas dan tentunya akan berdampak ke kelas masyarakat bawah.

Kelihatannya upaya kami berjalan baik. Bukan hanya pengunjung mall yang datang dan membaca cuma-cuma, tetapi bapak Satpam dan petugas cleaning service mall juga ikut-ikutan membaca di TBM.

Saya punya cerita, suatu hari di hari libur, saya menjumpai seorang cleaning service yang datang bersama seluruh anggota keluarganya ke mall. Mereka datang bukan untuk belanja, tetapi jalan-jalan dan membaca!

"Tuh, benar kan bu, di sini boleh baca gratis sepuasnya, kagak diitung jam-jam an," begitu ucapan keluarga cleaning service itu yang saya dengar langsung dari mereka.

Saya bahkan sempat ngobrol dan menemani anak-anak mereka membaca. Teman, air mata saya hampir tidak terbendung. Ternyata bukan cuma membaca, rasa percaya diri, dan kebahagiaan keluarga tersebut, juga bisa saya rasakan. Tidak heran mereka berjam-jam nongkrong di TBM saya.

Saya jadi teringat kisah ketika saya mengkampanyekan pendidikan alternatif homeschooling atau yang dulu dikenal dengan Pendidikan Kesetaraan atau Kejar paket A, B dan C. Ketika bicara Paket A, yang setara legalitas nya dengan Sekolah Dasar, Paket B setara SMP dan paket C setara SMA, orang tidak bergeming. Menganggap itu untuk kalangan bawah dan tidak mampu.

Lalu kami mendirikan e- Homeschooling di Pusat perbelanjaan mewah di kelapa Gading-La Piazza. Di luar dugaan, kami punya banyak murid dan mereka senang bersekolah di mall. Toh, saat ini banyak anak kalau bolos sekolah pergi ke mal, kenapa tidak sekolahnya yang kita pindahkan ke mal?

Hebatnya, di mal itu tidak ada pagar tinggi dan satpam yang menjaga pintu gerbang sekolah. Murid-murid saya tidak ada yang datang telat apalagi bolos. Maklum, mal itu menyenangkan buat mereka. Sekolah pun jadi ikut-ikutan menyenangkan.

Yang sekolah di e- Hugheschooling juga tidak tanggung-tanggung. Ada para selebriti cilik dan remaja, anak-anak berbakat, dan bahkan anak-anak dengan kendala kesehatan. Lalu homechooling menjadi pembicaraan dan dianggap trend baru. Kami gembira upaya kami berjalan baik!

Sekarang kalau buka halaman iklan koran, anda akan temukan banyak orang mengiklankan homeschooling milik mereka. Orang menganggap ini sekolah bergengsi dan punya kelas. Anak-anak yang homeschooling boleh bangga mereka memilih untuk homechooling karena banyak orang sudah paham trend ini.

Saya ingin budaya baca juga demikian. Kita mulai dengan membuat trend, kalau pergi ke mall tidak nongkrong di tempat baca, belum dianggap anak gaul atau keluarga berpendidikan. Kalau nunggu antrian tidak sambil baca, tidak keren. Kalau duduk di bus tidak sambil baca, juga tidak sesuai tren. Sebab, sekarang membaca dimana saja dan kapan saja SUDAH JADI TREND! Masak kita ketinggalan?

Saya membayangkan virus baca ini menyebar sampai ke TBM yang ada di desa-desa. Mari kita membudayakan membaca. Sebab di kota dan di mall-mall, sedang mewabah budaya baca. Masak kita ketinggalan trend terbaru?

Bantu kami yuk! Kita bergandeng tangan ikut menjadi relawan di TBM-TBM yang paling dekat di kota anda. Tidak harus di mall, tetapi bisa pula di stasiun kereta, di sekolah, dan di pasar. Di rumah juga boleh.

Gramedia dengan senang hati memberi bantuan buku-buku untuk anda yang mau membuat TBM. Nggak percaya? Coba deh cari informasinya ke Gramedia atau ke Kemendiknas. Kalau tidak mau membuat TBM, Anda bisa juga sumbangkan buku-buku berkualitas yang sudah anda baca seperti yang telah dilakukan Gramedia, Percetakan Akur dan banyak lagi.

Let's WALK THE TALK! Tidak boleh ngomong dan complain doang. Katakan dengan melakukan sesuatu! Kita buat perubahan untuk Indonesia tercinta! Kami tunggu di TBM @ Mall ya



all photos copyright by Brillianto K. Jaya

KALO JUAL KAMU TIAP BULAN KAN BISA "NGALAP" HASIL

Gadis belia itu terisak. Namun sang bapak tak peduli. Ia tetap berjalan meninggalkan gadis belia itu dibawa sang paman. Sementara gadis beli tetap menarik baju bapaknya yang tetap berjalan tanpa merasa bersalah.

Bapak! Bapak! Tolong! Jangan jual aku!
Kalau Bapak punya kambing di kampung, kenapa bapak pilih jual aku seharga delapan ratus ribu rupiah?
Kenapa bapak tidak jual saja kambing bapak?

Hus! Diam!
Kamu anak perempuan ngga boleh ngelawan bapakmu!
Kalau kambing dijual, paling dipotong.
Kalau jual kamu, tiap bulan kan bapak bisa nengok kamu, sambil ’ngalap’(memetik) hasil.
Sudah sana! Ikuti pamanmu. Dia akan memberi kamu kehidupan yang lebih layak daripada di kampung.


Sang paman lalu menyeret gadis berkepang dua itu. Sambil menjawil dagu gadis 12 tahun itu, si paman berbisik...

Heh, kamu masih perawan to nduk?

Itulah penggalan pementasan drama berjudul The Survivors yang dipentaskan oleh organisasi bernama Bandung Wangi. Barangkali anda bisa menebak cerita drama tersebut. Yap! Drama ini berkisah mengenai drama kehidupan para korban perdagangan manusia serta survivor-nya. Survivor adalah mereka yang selamat dari perdagangan manusia ini.

Para pemain drama ini adalah para pekerja seks yang masih aktif bekerja maupun yang sudah menjadi aktivis. Yang menarik buatku, selain pemain dan ceritanya, saat itu menyaksikan pementasan drama mengenai trafficking ini, di sebelahku adalah seorang germo atau dikenal dengan istilah mucikari.

Sambil mengerak-gerakkan kipasnya karena kepanasan, germo itu melihat pementasan tanpa rasa malu atau dosa. Setiap ada adegan yang lucu, ia masih sempat tersenyum, bahkan tertawa. Sementara setiap ada adegan sedih, ia biasa-biasa saja. Ia lebih sibuk dengan kipas berwarna merahnya.

Aku yang duduk di sampingnya selalu berusaha mencuri pandang. Harap maklum, aku penasan dengan isi hatinya. Kok bisa-bisanya ia ‘kuat’ melihat pementasan itu? Padahal pementasan itu kan juga mengkritik dirinya yang termasuk sebagai orang yang berprofesi sebagai penjual manusia? Tidak heran aku sebut dia juga sebagai ‘manusia berdarah dingin’

Siang itu memang panas sekali. Di dalam gedung pun begitu. Penyejuk udara yang sekiranya hidup, siang itu tidak berfungsi. Jangan heran kalo aku juga kepanasan. Namun aku tidak begitu kuat mengipaskan kertas yang kubawa, karena angin dari kipas si germo sedikit menerpa wajahku. Angin itu juga mengantarkan aroma minyak wanginya.

“Wangi sekali!” pikirku dalam hati.

Siang itu aku memenuhi undangan mbak Anna yang menjadi ketua organisasi Bandung Wangi ini. Ia menggelar pertunjukan drama berjudul The Suvivor ini di Gelanggang Remaja, Bulungan, Jakarta Pusat.

Tidak seperti germo di sebelahku, aku tidak lagi perduli dengan panasnya ruangan itu. Kisah yang ditampilkan malah membuatku berlinang air mata. Bukan hanya karena jalan ceritanya yang luar biasa, tapi karena pemainnya. Mereka adalah para survivor atau korban selamat dari trafficking. Mereka hebat, luar biasa!

Para survivor ini cukup tegar dan sangat profesional memainkan peran dalam drama kehidupan mereka sendiri di atas panggung. Aku terus sibuk menyeka air mata. Cengeng? Aku pikir tidak. Tangisanku bukan, karena sedih, malah justru wujud dari apresiasiku pada mereka yang (sekali lagi) tegar dan luar biasa.

Aku bisa membayangkan, alangkah beratnya penderitaan perempuan-perempuan itu. Para survivor itu. Sambil membersihkan air mata, sesekali aku melirik germo yang ada di sebelahku. Dari hati yang positif, aku memberi kesan baik pada germo ini. Kenapa? Sebab, ia mengijinkan “anak-anak”-nya meluangkan waktu untuk latihan. Mereka masih diizinkan melakukan pementasan, namun setelah selesai, para pekerja seks komersial ini tetap harus melayani para pria hidung belang.

Namun aku tetap heran dengan germo ini, germo yang aku sebut sebagai “manusia berdarah dingin”. Dimana hati nurani orang ini ya? Kok bisa-bisanya ia duduk di sini tanpa perasaan, menyaksikan anak-anak belia itu beraksi?

Aku mencuri-curi pandang lagi, melirik gelang-gelang emas melingkar di pergelangan tangannya. Aku juga melihat kutek bermerah yang dipoles di seluruh kukunya. Lalu rambutnya yang disasak, eyeshadow yang tebal, dan tidak ketinggalan lipstik merah tebal. Aku terus penasaran dengan apa yang ada di hatinya. Apakah dia sadar dengan pekerjaannya ini? Sebagai germo?

“Tuhan, berilah petunjukmu untuk merubah orang-orang seperti dia,” ujarku dalam hati.

Usai pertunjukan aku sempat berfoto dengan para pemain. Mereka wangi-wangi sekali. Beberapa di antara mereka memeluk dan menciumi pipiku. Ya, barangkali mereka berpikir aku tetaplah artis yang sering membawakan acara, salah satunya Mimpi kali Yee yang pernah ditayangkan di SCTV. Seperti juga fans-fans di acara itu, tiap berjumpa dengan idolanya, pasti langsung dipeluk, diciumi, dan kemudian minta difoto. Wah, sepertinya aku merasakan seperti fans yang sedang bertemu dengan idolanya.

Kamis, 08 Juli 2010

PRT ITU BUKAN "PEMBANTU", TETAPI "PEKERJA RUMAH TANGGA"

Barangkali Anda pikir aku aneh. Tetapi ini yang aku lakukan, setelah tiga bulan belajar tentang trafficking. Apakah itu? Yakni memperdalam studi trafficking dengan cara pergi ke dapur untuk berjumpa dengan pembantu dan sopirku.

Pada tahun 2003, aku sempat punya tiga orang pembantu rumah tangga (PRT) dan seorang sopir. Sopirku ini sudah tua. Usianya sudah 50 tahunan. Rambutnya sudah memutih. Sementara dua pembantuku berusia 20 tahun dan 17 tahun. Nah, yang membuatku agak shock, salah seorang PRT-ku, usianya baru menginjak 14 tahun. Awalnya aku kaget, karena belum pernah mengalami mendapat PRT dengan usia muda seperti ini.

Aku pun bertanya-tanya, apakah aku termasuk orang yang mempekerjakan anak di bawah umur? Kalo begitu, aku termasuk menyetujui trafficking dong? Ini ironis sekali dengan statusku sebagai Duta Anti-Trafficking. Oh, tidak!

Aku bingung. Padahal PRT yang ”masih kecil” ini baru saja diantarkan oleh agen ibu mertuaku. Aku mengalami dilema. Apakah aku harus pulangkan ke desa? Kalo aku pulangkan ke desa dengan alasan tidak mau mempekerjakan anak di bawah umur, lalu apa yang akan anak ini kerjakan di desa? Sekolah lagi pasti keluarganya sudah tidak sanggup. Paling-paling orang tua mereka akan menikahkan anak ini di usia yang masih muda, dimana ia belum matang secara fisik dan mental.




Kalo belum matang, anak yang menikah di usia muda pasti akan menimbulkan persoalan baru, yakni perceraian. Sudah banyak kasus perceraian yang melibatkan anak-anak usia muda, dimana mereka baru menikah beberapa bulan lalu bercerai. Kemudian mereka menjadi janda muda.

Begitu menjadi janda muda, mulai timbul persoalan baru. Gunjingan masyarakat terhadap perempuan. Janda muda ini akan risih. Ujung-ujungnya, perempuan yang berstatus janda akhirnya mau menerima tawaran pekerjaan apa saja, asal bisa keluar dari desa. Finnally, mereka menjadi PSK atau TKI illegal. Sungguh ironis bukan?

Kepalaku berputar. Pikiranku yang satu mengatakan, aku tidak boleh memulangkan PRT yang masih kecil itu. Yang satu lagi memintaku segera memulangkan PRT ke kampung. Ah, pusing! Akhirnya persoalan ini akan angkat ke dalam sebuah pertemuan dengan teman-temanku dari Departemen Pendidikan Nasional dan kementrian Pemberdayaan Perempuan.

Dari diskusi itu aku mendapat jalan keluar dari permasalahanku. Beberapa aktivis tidak setuju dengan panggilan pembantu. Mereka bukanlah pembantu. Mereka adalah para pekerja rumah tangga. Jadi, kata ”P” dalam PRT bukan dari singkatan ”Pembantu”, tetapi ”Pekerja”. Oleh karena itu, sebagai pekerja, maka ia memiliki beberapa hak. Hak ini sebenarnya harus diterima oleh para pekerja rumah tangga sebagaimana pekerja yang ada di kantor. Misalnya, ada waktu kerja yang sesuai dengan standard, yaitu 8 jam sehari, lalu berhak mendapatkan jam istirahat, gaji yang sesuai, dan selalu mendapatkan jatah libur dalam seminggu.

”O, begitu,” jawabku sambil mengangguk-anggukan kepala.

URUSAN BATAS NEGARA KOK CUMA PATOK?

Kuching, Malaysia 2003,

Seorang intel polisi bercerita padaku. Ada tempat persembunyian pasukan polisi atas gunung di perbatas kalimantan dan Entikong. Pasukan ini berada di situ selama berhari-hari. Tugas mereka adalah menyelidiki aktivitas sebuah rumah yang diduga sebagai tempat sindikat perdagangan manusia.

Selama beberapa hari melakukan penyelidikan, ternyata dugaan mereka benar. Sebuah rumah yang berada di kaki gunung itu memang dibangun sebagai ”rumah transit”, dimana berisi para pekerjaan seks komersial (PSK) yang akan dijual ke Khuching, Malaysia.

Kenapa aku sebut ”rumah transit”? Karena sebelum dijual, PSK-PSK diinapkan di rumah itu. Sementara kalau ada PSK yang hamil, maka ”rumah transit” itu akan menampung sampai PSK tersebut melahirkan. Setelah bayi lahir, si Ibu harus kembali bekerja di Khuching. Namun tentu saja si Ibu sudah dijerat hutang oleh si pemilik ”rumah transit” itu. Hutang merawat sang Ibu selama masa hamil, membayar dokter pada saat melahirkan, dan tentu saja memberikan asupan gizi pada sang jabang bayi.

Yang menyedihkan lagi, bayi PSK tersebut dipegang oleh ageng di ”rumah transit” itu. Tujuannya tidak adalah upaya agar PSK setiap bulan bisa melunasi hutang-hutannya. Itulah yang membuat PSK ini harus bersedia ekstra kerja keras melayani tamu sepanjang malam, termasuk melayani pada masa haid. Sungguh biadab bukan?

Nasib si bayi yang ada di tangan ”agen jahat” itu pun belum selamat 100%. Kenapa? Sebab, jika PSK tersebut dianggap ”ngeyel”, tidak bayar hutang, bayi tersebut siap untuk diperjual belikan, apalagi jika bayi yang lahir itu normal dan lucu. Kalau bayi itu normal dan kemudian akan dijual, ”agen jahat” itu akan memakai kedok adopsi. Apabila kurang sempurna, bayi dimanfaatkan untuk perdagangan obat bius atau penjualan organ. Benar-benar kejam!

Aku stress bukan kepalang. Bagaimana ini bisa terjadi?


Lihat! Batas negara Indonesia dan Malaysia cuma begini saja. Foto kiri adalah batas yang berada di Malaysia. Foto kanan adalah batas yang ada di negara Indonesia. Foto bawah adalah aktivitas penduduk perbatasan, dimana mereka dengan mudah masuk ke wilayah Malaysia. Inilah yang membuatku tidak habis pikir, kok membuat perbatasan wilayah dua negara kayak main-main ya?


Luas perbatasan Indonesia dengan Kuching, Malaysia sekitar 900 km. Dengan luas perbatasan darat tersebut, pemerintah setempat menganggap sulit dan tidak mungkin dipasang pagar. Ya, paling hanya patok yang hanya dimengerti oleh masing-masing dinas pemerintah daerah. Buatku, ini sungguh aneh. Urusan batas negara, kok cuma patok?

Benar kan? Masyarakat yang tidak tahu tentang batas wilayah, tentu saja tidak mau ambil pusing tentang rumah tetangganya, yang ternyata sudah masuk wilayah Malaysia. Atau sebaliknya orang Malaysia masuk wilayah Indonesia. Ya, tinggal berjalan beberapa kilo meter saja, mereka sudah memasuki wilayah asing alias wilayah perbatasan itu. Biasanya jika mereka bertemu dengan pihak keamanan dan ketika ditanya tidak mempunyai identitas, maka penduduk yang masuk ke negara lain dianggap ilegal. Ini bisa menjadi awal yang buruk. Padahal belum tentu penduduk punya niat masuk ke negara tetangga untuk bekerja. Kebetulan mereka ada yang merupakan penduduk asli yang tidak mengerti batas negara. Itulah kenapa batas negara sangat perlu dibuat, tidak cuma sekadar patok saja.

Perjalanan yang aku tempuh bersama para anggota DPR komisi X ini benar-benar membuat dadaku sesak. Oh iya, para anggota DPR tersebut hadir di wilayah perbatasan waktu itu dalam rangka ingin membuat rancangan UU Anti-trafficking.

Aku sempat beristirahat di sebuah LSM yang khusus menampung TKI yang berhasil melarikan diri masuk kembali ke wilayah Indonesia dan TKI yang berhasil diselamatkan. Saat beristirahat, aku membaca sebuah surat kabar, dimana ada berita tentang seorang perempuan muda meninggal akibat kehabisan darah. Perempuan ini dibuang di perbatasan oleh pihak Malaysia. Di sekujur tubuhnya banyak bekas luka suntikan. Menurut surat kabar itu, perempuan ini adalah korban perdagangan manusia untuk penjualan darah. Sungguh kejam! Dengan kejadian-kejadian seperti ini, aku jadi bertanya, apa tindakan pemerintah ya?

(bersambung)