Selasa, 29 Juni 2010

WAKIL INDONESIA DI "WOMAN LEADER'S COUNCIL to fight HUMAN TRAFFICKING"

Sungguh membanggakan menjadi wakil negara Republik Indonesia di United Nations (UN) alias Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengikuti konfrensi Woman Leader's Council to fight Human Trafficking di Wina, Austria.

Ini fotoku di belakang banner besar seminar tersebut. Di seminar ini saya mendapatkan banyak mengenai sisi hitam trafficking.

Minggu, 27 Juni 2010

NATION VON KULI, NEGARANYA PARA KULI

Februari, 2003
Medan – Sumatra Utara


Ini kisahku saat diajak menyaksikan korban kekerasan oleh majikan. Korban yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) ini menderita luka yang mengakibatkan kerusakan pada seluruh alat reproduksinya.

Aku menyaksikan ia terbaring di rumah Sakit di Medan. Ia menangis saat aku datang dan minta aku memeluknya. Dalam pelukan, ia terisak lama sekali dan bercerita tentang trauma dan ketakutan yang luar biasa atas perbuatan majikannya. Anda tahu, saking tersiksanya, ia nekad melompat dari lantai tiga gedung apartemen untuk bisa selamat. Itulah yang membuat tulang keringnya patah.


Kekesaran terhadap TKI menyebabkan mereka jadi korban (foto dok. google)

Aku tidak menyangka ia akan bercerita sedetail itu. Ketika aku tanya apa yang bisa aku bantu untuk bisa menghibur hatinya, gadis manis bertubuh kurus ini bilang, ingin minta dibelikan cokelat silverqueen. Kebetulan aku memang suka cokelat. Makanya beruntunglah masih ada sepotong cokelat di dalam tasku.

"Maaf, cokelatnya tinggal setengah," kataku pada gadis yang sedang tiduran di ranjang rumah sakit itu. "Nanti kak Hughes belikan lagi yang baru ya?"

Ia mengangguk dan kemudian tertawa. Begitu aku memberikan sepotong cokelat itu, ia langsung menyantap coklat dengan lahap. Persis seperti orang yang sudah 3 hari tidak makan. Duh, senangnya aku bisa berbagi.

Cukup lama juga aku berkunjung ke PRT korban majikan ini. Aku pun kemudian pamit pulang. Ketika hendak pulang, aku cium pipi gadis itu dan mengajaknya berdoa.

Sambil berjalan meninggalkan gadis itu, aku sempat berpikir, kisah penderitaannya pasti belum berakhir. Ia masih akan menempuh perjalanan dengan mobil sangat jauh ke pedalaman dan berjalan beberapa kilometer, menuju kampung halamannya yang berada di balik bukit. Kasihan sekali bukan? Dan ia pun belum tahu apakah keluarganya masih bisa menerima ia kembali ke rumah?

Menurut teman-teman aktivis, banyak keluarga merasa malu ketika harus menerima kembali anak gadisnya yang dianggap gagal di negeri orang, apalagi jika sampai ternoda. Sungguh menyedihkan bukan?



Wajah-wajah para TKI. Mereka tidak tahu nasibnya akan seperti apa kelak (foto dok. google)

Aku tidak tega melihat gadis malang ini lunglai terbaring. Belum jauh dari tempat tidur, saat aku melangkah pamit, tiba-tiba dia duduk dan langsung berdiri.

"Kak, terimakasih kakak sudah mau jauh-jauh datang kemari. Siapalah aku ini, perempuan tidak ada harganya kalau seperti ini. Tapi kakak baik sekali sama aku. Sekarang aku sudah sembuh dan sudah tidak putus asa lagi. Aku mau antar kakak ke pintu depan.”

Kami berpelukan dan menangis.

"Jalan hidup tidak selalu tanpa kabut," kata saya. "Tapi percayalah, sehabis hujan pasti akan datang pelangi. Sehabis pelangi akan ada terang, mendung, dan hujan lagi. Tapi pelangi itu pasti datang lagi. Coba bayangkan kalau hidup Cuma berisi hujan terus pasti kita kebanjiran dan mati terendam air. Tapi kalau panas terus juga kan kita jadi kekeringan dan juga bisa mati. Begitulah hidup, harus silih berganti. Jadi bersemangatlah, karena Tuhan selalu bersama kita, Dia dekat meskipun kita merasa Dia jauh."

Di luar dugaanku, perjalananku lewat diskusi-diskusi dengan teman-teman aktivis, membuatku mampu melihat dunia lain. Dunia yang sebenarnya tidak jauh di depan wajahku.

Seperti saat aku pergi umroh, seorang TKI menangis. Dengan baju hitam yang basah, ia menangis tidak bisa meninggalkan airport, karena tidak memiliki pasport. Ia menangis mencari orang Indonesia di Airport Jeddah, untuk bisa menyelamatkannya dari sang majikan yang jahat dan tidak pernah membayar gajinya.

TKI itu kabur dan berniat meninggalkan Saudi Arabia. Namun pasportnya ditahan oleh majikannya. Setelah berhari-hari di airport, kami berjumpa dengan perempuan berusia 25 tahun ini. Dengan berusaha sekuat tenaga, aku berhasil membantunya pulang.

Meski pulang, TKI ini pulang dengan tangan kosong. Seperti yang sudah aku jelaskan, bekas majikannya tidak pernah menggajinya. Itulah yang membuat rasa malu TKI itu berjumpa dengan keluarganya. Anehnya, kejadian yang mengenaskan itu biasanya tidak membuat para TKI kapok untuk mencoba lagi untuk bekerja di luar negeri kalau ada kesempatan. Saya maklum, mereka berasal dari desa dan keluarga miskin. Kemiskinan membuat mereka terpaksa melupakan kisah-kisah menyedihkan yang dialami oleh TKI-TKI lain atau bahkan dirinya sendiri.

Berbeda jauh dengan TKI yang sempat saya jumpai di dalam pesawat. Di sebuah penerbangan pesawat, ada dua TKI yang naik di kelas binis. Mereka nampak asyik bercengkrama. Kaki mereka dibiarkan nagkring di kursi. Persis seperti orang yang sedang makan nasi di warteg. Aku lihat dua TKI ini mengenakan gelang emas dan kalung emas. Gelang-gelang itu terdengar gemerincing saat mereka bercengrama.

Itulah sisi lain dari TKI yang berhasil. Memang tidak sedikit yang berhasil seperti dua TKI di atas itu, dimana mereka tidak menjadi korban trafficking. Mereka bisa pulang ke desa dengan membawa hasil yang luar biasa. Selain barang-barang mahal seperti emas, mereka juga membawa uang yang akan mereka pergunakan untuk membangun rumah, membeli ladang, atau bahkan menjadi agen untuk mengajak kerabat atau tetangga yang lain berangkat kerja ke luar negeri.


Seringkali tergiur jadi TKI, karena urusan uang. Begitu sampai di negeri orang, diperlakukan tidak wajar. Menyedihkan bukan? (foto dok. google)

Jika ada penduduk kampung yang miskin tergiur dengan keberhasilan "senior-seniornya" (para TKI yang berhasil), calon TKI pasti akan mengikuti jejak menjadi TKI juga. Mereka tergiur iming-iming kerja enak dengan gaji besar. Tidak heran, banyak anak yang masih berusia dini dan perempuan yang berangkat mengadu nasib. Hasilnya, karena minimnya pengetahuan dan keterampilan lagi-lagi orang Indonesia hanya bisa jadi pembantu di negeri orang. Aku jadi ingat kata-kata Presiden RI pertama Bung Karno, yakni Indonesia itu nation von kuli atau negaranya para kuli.

Maksud Bung Karno itu, mereka itu rela meninggalkan tanah air yang subur dan bersahabat, yang menjadikan mereka merdeka dan bermartabat di negeri sendiri, demi meraup dolar. Memang sih mereka dianggap sebagai "pahlawan devisa". Tapi haruskah mereka tinggalkan suami dan anak mereka di desa? Kenapa tidak suaminya saja yang berangkat? Kenapa malah suaminya tinggal di desa, lalu tinggal menerima uang kiriman dari sang istri yang bekerja di luar negeri itu? Bahkan tidak jarang aku temukan suami menikah lagi dengan alasan istri jauh. Kata mereka (para suami yang menikah itu), toh, diperbolehkan oleh agama? Enak sekali!

Ah, pikiranku berkecamuk. Aku tidak ingat lagi berapa kali aku menangis. Aku juga tidak ingat berapa kali sudah minum obat sakit kepala dan muntah-muntah. Kasihan sekali perempuan-perempuan itu. Ini benar-benar diluar dugaanku.

(bersambung)

Jumat, 25 Juni 2010

PRASASTI BUDDHA DI TENGAH KOTA

Alangkah luar biasa, ada sebuah prasasti berupa patung Buddha di tengah-tengah kota Surabaya, Jawa Timur. Biasanya, yang namanya prasasti, ada di pinggir kota. Kalau pun ada prasasti di tengah kota, paling-paling umurnya tidak lama. Biasanya langsung dipindah ke pinggir kota atau dimuseumkan. Maklumlah, zaman modern seperti sekarang ini kita terkadang kurang bersahabat dengan masa lalu.

Namun kota Surabaya membuktikan. Ketika berkunjung ke Taman Apsari di Surabaya, aku membuktikannya. Ternyata benar, lho, terdapat beberapa peninggalan kuno yang merupakan warisan budaya nenek moyang. Salah satu peninggalan tersebut adalah arca Budha Mahasobya yang lebih dikenal dengan nama JOKO DOLOG.



Arca Budha Mahasobya ini berasal dari Kandang Gajak. Pada 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen de Salis. Daerah kandang Gajak dulu merupakan wilayah Kedoeng Wulan, yaitu daerah di bawah kekuasaan Majapahit. Pada masa penjajahan Belanda, daerah ini termasuk dalam Karesidenan Surabaya, sedangkan masa sekarang termasuk wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Arca Budha Mahasobya ini dikenal dengan nama Joko Dolog ini. Selain sebagai tempat pemujaan oleh mereka yang beragama Buddha, Joko Dolog juga banyak dikunjungi orang-orang yang mohon berkah. Katanya kalo berdoa buat mohon berkah di depan Joko Dolog, bakal banjir rezeki. Wah, bener tidak ya?

Kamis, 24 Juni 2010

KALAU BUKAN KITA SIAPA LAGI?

Hari bumi merupakan komitmen untuk membuat atau menjadikan kehidupan lebih baik, tidak hanya lebih besar dan cepat, juga merupakan langkah nyata bukan solusi retorika belaka. Ini merupakan hari untuk menguji kembali etika/ tata susila kemajuan individu pada nilai nilai kemanusiaan. Ini merupakan hari untuk menantang pimpinan pimpinan hukum dan pemerintahan yang berjanji mengubah pada program program yang perlu perubahan jangka pendek. Hari ini merupakan hari untuk mencari hari esok. 22April mencari kehidupan masa depan yang berharga. 22 April untuk menentukan hari esok.

(Environmental Teach-In Adventiseament, New York Times, Januari 18, 1970)

Hari Bumi belum lama kita rayakan 22 April 2010 lalu. Kalau berbicara tentang bumi, aku dengan Dewi Hughes International Foundation (DHIF) juga sangat concern, sebagai ke-concern-anku pada pendidikan dan perempuan. Buatku, bumi yang kita pijak adalah wajib kita jaga. Tanpa menjaga bumi dan lingkungan kita, yakin kekhawatiran kita bahwa bumi akan rusak, pasti benar-benar terjadi.


Seorang pengunjung sedang membaca informasi bahaya efek rumah kaca.


Belakangan para pakar dan ilmuwan telah lama memastikan, bahwa naiknya suhu permukaan bumi dipicu meningkatnya emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida. Sesuai data Laboratorium Pemantauan dan Diagnosis NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), kadar CO2 naik 36 persen, dari 280 bagian permil (ppm) sebelum revolusi industri menjadi 378 ppm pada tahun 2005.

Naiknya kadar karbon dioksida, metana, dinitro oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan sulfur heksaflourida di atmosfer Bumi memaksa radiasi panas matahari tetap terperangkap di atmosfer. Inilah efek rumah kaca yang menjadi biang pemanasan global.

“Menurut laporan Panel Ahli tentang perubahan Iklim (IPCC), suhu Bumi meningkat 0,7 derajat Celcius dalam 100 tahun terakhir,” kata Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. IPCC memprediksi, jika tidak ada upaya secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, suhu Bumi akan meningkat hingga 5,8 derajat Celsius pada 2100 dibandingkan tahun 1900.

“Padahal, tidak banyak komunitas makhluk hidup yang mampu bertahan dengan kenaikan suhu 2 derajat Celcius saja,” kata Eka Melisa, Direktur Perubahan Iklim dan Energi WWF Indonesia. Pemanasan global juga ditengarai sebagai pemicu melelehnya daratan es di kutub yang menyebabkan naiknya permukaan air laut.

Perubahan volume dan suhu air laut memicu terjadinya perubahan iklim secara gradual. Naiknya suhu permukaan Bumi menyebabkan naiknya uap air di atmosfer. “Tidak heran jika saat ini sering terjadi hujan salah musim dan badai semakin besar, seperti Katrina yang melanda wilayah AS,” lanjut Eka.




Lapisan es di Antartika dan Greenland terus menipis sehingga mengganggu kehidupan biota di sana. Naiknya suhu air laut juga menyebabkan pemutihan karang yang terjadi secara luas di seluruh bagian dunia. Di Indonesia, fenomena ini jelas terlihat di sekitar Kepulauan Seribu dan Bali Barat.

Menurut Eka, jika kenaikan kadar CO2 mencapai batas 550 ppm, sebagian besar makhluk hidup mungkin tidak akan bertahan di Bumi. Kekeringan atau banjir bandang karena perubahan iklim yang ekstrim atau musim yang tidak teratur akan memicu berbagai macam penyakit, kelaparan, dan kerusakan besar-besaran di muka bumi.

Nah, kalau kita sudah punya sumber berita dan tahu bahwa kita harus menjaga bumi, harusnya kita berbuat sesuatu, ya tidak? Berbuat sesuatu tidak harus melakukan lompatan yang besar. Mulailah dari yang sederhana. Membuang sampah, misalnya.

Aku dan barangkali Anda juga pernah melihat, banyak orang yang masih membuang sampah sembarangan. Bukan cuma di kali atau sungai, tetapi di jalan raya. Pelakunya pun bukan cuma dari kalangan menengah ke bawah, tetapi mereka yang berpendidikan dan berada di dalam mobil mewah. Mereka –yang berpendidikan ini- dengan sengaja membuang tisu atau kulit kacang di tengah jalan. Yang paling sering puntung rokok. Saudaraku, jalan bukan tempat sampah!


Aku salut dengan mereka yang menggunakan sepeda sebagai kendaraan dalam melakukan aktivitas mereka.


Itu baru soal sampah, belum soal emisi gas buang yang dikeluarkan knalpot kendaraan bermotor. Makanya aku salut sekali pada mereka yang tergabung dalam komunitas bike to work (B2W). Mereka ini adalah pendekar-pendekar lingkungan. Meski jumlah mereka belum banyak, namun mereka sudah melakukan hal yang sederhana untuk menjaga bumi ini dari global warming.

Bagaimana dengan Anda? Apa yang sudah Anda lakukan pada lingkungan Anda? Yuk, kita sama-sama jaga lingkungan kita agar bumi ini tidak semakin memburuk. Kalau bukan kita lantas siapa lagi yang mau peduli?

PERPUSTAKAAN DENGAN KONSEP GALERY

Sahabat, apa yang terbayang oleh Anda perpustakaan? Aku yakin, selama ini gambaran Anda soal perpustakaan adalah tempat yang membosankan. Cuma ada rak-rak buku, sunyi, sepi, dan ruangnya sangat konvensional.

Gambaran Anda tentang perpustakaan seperti itu sebenarnya wajar. Namun sebagai aktivitas yang berubungan dengan masalah pendidikan, aku bersama Dewi Hughes International Foundation (DHIF) tergerak hati untuk membuat konsep perpustakaan yang beda. Apa bedanya?



Perpusatakan dengan konsep galeri. Yap! Perpustakaan yang artistiknya mirip seperti kita berada dalam sebuah galeri. Barangkali kalau Anda pernah berkesempatan nonkrong di cafe-cafe, ada cafe yang sudah membuat konsep seperti ini. Namun, cafe-cafe itu mengedepankan food & baverage-nya sebagai menu utama. Sementara konsep yang dibuat DHIF benar-benar menu utamana adalah buku bacaan.

Nama perpusataan ini adalah Taman Bacaan Masyarakat @ Mall (TBM @ Mall). Lho kok ada kata-kata mall-nya? Yap! Itu konsep berikutnya, bahwa perpustakaan ini ada di mal, bukan seperti perpusataan kebanyakan yang berdiri sendiri.


Menteri Pendidikan Prof. M. Nuh saat meresmikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM)@ Mall.

Selama ini mall hanya sebagai pusat kegiatan dan hiburan seperti exhibition, launching, dll. Orang hanya menjadikan mall sebagai tempat bertemu (meeting point)seperti arisan, rapat ,dll. Yang juga kita tahu, bahwa mall merupakan tempat ekspresi perilaku konsumtif, ketimbang perilaku produktif. Nah, DHIF mencoba menjadikan mall juga sebagai "gudang ilmu". Dimana di TBM, masyarakat bisa membaca buku-buku yang tersedia dengan sepuasnya tanpa dipunggut biaya.


Mendiknas dan anak-anak pengunjung TBM @ Mall

Selain membuat produktif mall, tujuan TBM @ Mall juga memberi fasilitas membaca dan balai belajar bersama bagi masyarakat umum; Memupuk minat baca sejak dini; dan menjadi pusat pemberdayaan masyarakat. Luar biasa bukan?

Di TBM sedikitnya terdapat 500 koleksi buku dengan berbagai tema, mulai dari buku keterampilan, kesehatan, informasi dan komunikasi, komik, novel, ilmu pengetahuan dan science, psikologi, hobby, buku anak, dan masih banyak lagi. Saat ini TBM @ Mall sudah ada di 5 tempat, lho. Selain di Plaza Semanggi dan Pejaten Village (Jakarta), TBM juga sudah ada di Eka Lokasari (Bogor), Istana Plaza dan BIP (Bandung), dan City of Tommorow (Surabaya). Doakan ya TBM ada di mal di kota Anda.

DEBT BOUNDAGE DI PENAMPUNGAN TKI

Minggu ke-2, Januari 2003

Setelah menyangupi untuk menjadi Duta Anti-Trafficking, aku langsung melakukan aktivitas. Aktivitas di hari pertama adalah menonton film kejahatan trafficking. Film yang aku tonton itu berkisah tentang sebuah kejahatan yang mengorbankan begitu banyak anak-anak perempuan.

Saat menonton, aku sempat menangis, bahkan sempat muntah, karena adegan–adegan yang digambarkan di film itu sungguh tidak bisa aku terima dengan akal sehat. Sangat kejam dan tidak manusiawi.


(Sumber foto: dok. google)

Setelah pemutaran film, biasanya dilanjutkan dengan diskusi. Dalam setiap diskusi ada korban yang hadir. Mereka diminta bercerita tentang tragedi dalam hidup mereka. Dari apa yang dijelaskan oleh korban, rata-rata mereka dijual oleh sanak keluarga, tetangga bahkan orang tuanya mereka sendiri. Menyedihkan ya?

Hari berikutnya aku diajak berkunjung ke tempat penampungan tenaga kerja. Aktivitas ini cukup mendadak. Untung aku punya waktu. Di tempat ini aku bertemu langsung dengan para calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan berangkat bekerja keluar negeri.

Oleh karena dadakan, Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ini seperti kelimpungkan. Mereka mengulur-ngulur waktu sehingga membuat kami menunggu selama dua jam. Dua jam, lho! Lama kan? PJTKI ini beralasan ini dan itu. Padahal aku tahu, dalam dua jam itu mereka punya kesempatan untuk merapikan tempat penanampungan para TKI yang sebelumnya mirip kandang kerbau itu.

Aku bisa mengatakan penampunggan itu mirip kandang kerbau, karena coba bayangkan, satu kamar yang berukuran 3X3 hanya ada satu kasur besar. Ada 8 sampai 10 orang yang terpaksa harus tidur di kasur tersebut. Saat aku datang, kasur tersebut diangkat dan disenderkan ke tembok. PJTKI itu takut kalau aku dan tim melihat suasana sesungguhnya tempat tidur mereka. Dasar!

Naluri keingintahuanku begitu besar pada kehidupan sehari-hari mereka. Tidak heran, aku ingin sekali berbincang-bincang dengan para TKI itu. Aku minta mereka dikumpulkan di satu aula.

Awalnya aku tidak yakin pimpinan PJTKI ini mau mengumpulkan seluruh TKI. Aku maklum. Dengan dikumpulkan, pasti banyak uneg-uneg dari para TKI yang akan ketahuan dan itu bisa membuat PJTKI ini panas dingin. Ah, beruntunglah akhirnya permintaanku dikabulkan. Ada sekitar 100 orang TKI berhasil dikumpulkan di dalam aula.

Ada beberapa keganjilan yang membuatku semakin bertanya-tanya. Keanehan pertama, semua yang duduk di atas karpet, rambut mereka sudah dipotong pendek. Kenapa harus disamakan dipotong pendek rambut mereka ya? Jangan-jangan supaya tidak tertukar dengan PJTKI lain? Keanehan berikutnya, setiap aku tanya setu per satu TKI, mereka mengatakan berusia 20 tahun. Padahal yang aku lihat, (maaf) payudara mereka belum kelihatan. Begitu pula ketika aku tanya tamatan sekolah apa, mereka semua menjawab sama: tamatan SMP. Kok seperti sudah diatur ya?

Begitulah suasana yang aku temukan setiap berkunjung dari satu penampungan ke penampungan lain. Aku jadi tahu, bahwa mereka sebenarnya sudah terikat di dalam penampungan tersebut. Ketika masuk penampungan, mereka telah diposisikan sudah berhutang kepada agen dengan berbagai cara. Misalnya kalau ada keluarga yang meninggal dunia, maka calon TKI yang mau pulang harus meninggalkan deposit sebesar 5 juta rupiah. Kalau tidak punya uang, mereka boleh berhutang dan membarter dengan gaji mereka kalau sudah berhasil berangkat dan bekerja di luar negeri.

Belum lagi hutang-hutang mereka yang lain. Ketika mendapatkan training, mereka sudah dianggap berhutang. Begitu pula ketika sudah mendapat tempat menginap, test kesehatan, biaya visa kerja dan pasport, semua adalah hutang. Termasuk membeli kebutuhan sehari-hari yang mereka harus beli di koperasi.

Menurut teman-teman aktivis, kondisi menjeratkan para TKI jadi penghutang lazim disebut debt boundage atau jeratan hutang. Dengan kondisi begitu, mereka tidak akan bisa lepas dari PJTKI sebelum melunasi hutang-hutang mereka. Agen atau PJTKI nantinya akan memotong tiga sampai enam bulan gaji TKI setelah bekerja di luar negri.


(Sumber foto: dok google)

Selama berkunjung ke penampungan TKI, aku juga menyaksikan kesedihan para calon TKI yang masih belia. Bayangkan, di usia yang relatif masih kecil, mereka harus tinggal terpisah dari orangtua. Mending di penampungan hanya sebentar. Kalau tidak kunjung berangkat ke luar negeri, karena tidak ada majikan yang tertarik dengan wajah dan fisiknya, mereka akan lama tinggal di penampungan yang menurutku layak disebut sebagai kandang kambing itu.

Kasihan sekali. Saudaraku, Anda bisa bayangkan, sudah beberapa bulan di penampungan atau bahkan lebih dari setahun, lalu hutang bertumpuk, namun mereka tidak kunjung berangkat ke luar negeri. Ya gara-gara wajah dan fisiknya kurang menarik itu tadi. Padahal ada TKI yang baru dua minggu tiba di penampungan, bisa langsung berangkat dan bekerja di Malaysia. Itu semata-mata karena kulit putih dan wajah ayunya. Oalah!

(bersambung)

Rabu, 23 Juni 2010

HOMESCHOOLING DENGAN MEDIA ELEKTRONIK PERTAMA DI INDONESIA

Saat ini masih banyak masyarakat yang belum familier dengan homeschooling. Hal itu sebenarnya wajar. Berpuluh-puluh tahun kita menuntut ilmu di sekolah, dimana memiliki bangunan fisik dan kurikulum yang diajarkan di kelas.

Ketika homeshooling muncul, orangtua yang sudah terbiasa menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah bingung. Homeschooling? Apa pula homeschooling itu? Masa sekolah tanpa bangunan sekolah? Lalu bagaimana metoda pendidikannya? Tenaga pengajar dan kurikulumnya bagaimana? Beberapa pertanyaan mengusik orangtua mengenai homeschooling ini. Sekali lagi itu wajar.

Nah, aku lewat Dewi Hughes International Foundation (DHIF) dengan dukungan penuh Kementerian Pendidikan Nasional -dalam hal ini Direktur Pendidikan Kesetaraan Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah- , membuat terobosan. Terobosan ini merupakan pengembangan dari program pendidikan kesetaraan berbasis komunitas. Apakah itu? DHIF menggagas berdirinya homeschooling dengan media elektronik pertama di Indonesian yang diberi nama e-hughescholling. Luar biasa bukan?



Mengenai kekuatan hukum e-hugheschooling ini tidak perlu khawatir. Sebab, hasil pendidikan dengan mentode homeschooling sebagai bentuk pendidikan informal ini, sudah sesuai UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, yakni di Pasal 27 ayat (2). Bahwa, pendidikan homeschooling dihargai oleh pemerintah dan setara dengan hasil program pendidikan formal dan pendidikan non formal.

Lalu persamaan hak antara homeschooling dengan pendidikan formal bagaimana? Persamaan hak atau hak eligibilitas peserta homeschoolingg ini, bahwa lulusan Ujian Negara (UN) kesetaraan paket A, Paket B, dan Paket C di homeschooling, sama dan setara dengan pemegang ijasah SD/MI, SMP/ MTs, atau SMA/ MA/SMK. Jadi tidak perlu khawatir kan?



Dengan dibukanya homeschooling dan tentu saja e-hugheschooling ini membuka kesempatan yang sebesar-besarnya bagi banyak masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Yang luar biasanya, mereka dapat mengenyam pendidikan yang nantinya inline dengan tuntutan dunia kerja dan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Percuma saja kalau kita sekolah tetapi pendidikan yang kita jalani tidak inline dengan pekerjaan kita nantinya, ya kan?

Yang menarik dari e-hugheschooling, peserta sangat fleksible dalam belajar. Anda pasti selalu merasakan bagaimana harus setiap hari harus masuk sekolah dan "dihantui" oleh bunyi bel masuk kelas. Jika terlambat beberapa menit, Anda tidak boleh masuk kelas, harus belajar sendiri di perpustakaan atau dihukum. Nah, e-hugheschooling jelas tidak akan menerapkan aturan seperti itu.

Selain soal proses belajar yang sangat fleksibel, e-hugheschooling juga menggunakan tehnologi informatika. Dengan begitu maka banyak anak mampu mengembangkan diri lebih optimal, dimana saja dan kapan saja.




Dalam jangka panjang DHIF ingin e-hugheschooling dapat diakses secara on line di seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia, termasuk di pelosok desa. Tentu saja dengan membangun kelompok belajar masyarakat yang tetap akan diarahkan oleh e-hugheschooling. Dengan demikian, tanpa menempuh perjalanan jauh dan memakan biaya, anak tetap dapat mengakses pendidikan berkualitas dan ramah lingkungan via e-hugheschooling ini.

Sekadar info, kampanye pendidikan alternatif homeschooling menuai sukses besar pada peringatan hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2008 lalu. Hampir seluruh halaman surat kabar terkemuka di Indonesia menulis tentang homeschooling sebagai jalan keluar dari mahalnya biaya pendidikan di Indonesia saat ini. Namun tentu saja pelaksanaan di lapangan membutuhkan kerja keras dan komitmen bersama antara orangtua, pihak sekolah, anak dan tentu saja masyarakat.

ME AND RICKY MARTEN

Di saat demam World Cup seperti sekarang ini, aku jadi ingat pertemuanku dengan penyanyi asal Puerto Rico, Ricky Marten. Maklumlah, pria kelahiran 24 Desember 1971 ini pernah membuat lagi saat World Cup tahun 1998. Judulnya La Copa de la Vida.

Lagu yang diberi judul dalam bahasa Inggris The Cup of Life itu berhasil meraih penghargaan Platinum di Perancis, Swedia, dan di Australia. Lagunya sendiri menjadi the number one single of the year dan meraih penghargaan sebagai Pop Song of the Year di Premio Lo Nuestro(1999).

Belum cukup dengan penghargaan itu, Martin juga sempat dinominasikan mendapat Grammy Award untuk album The Cup of Life. Meski tidak berhasil, namun di ajang lain, Martin berhasil memenangkan penghargaan untuk kategori Best Latin Pop Performance. Albumnya masuk ke Top 40 Album di Billboard's Top 200 Albums Chart di Amerika Serikat. Hanya dalam waktu tiga minggu, albumnya sudah terjual sebanyak 8 juta copy di seluruh dunia.

Luar biasa bukan?

Aku beruntung banget bisa berjumpa dengan Marten. Yang istimewa, pertemuannya bukan di backstage atau belakang panggung, tetapi pada saat menghadiri salah satu acara yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sekadar info, di PBB, Marten tidak diundang untuk nyanyi. Dia itu adalah salah satu Duta Besar PBB.

Ini dia foto-fotoku saat berjumpa dengan Ricky Marten.



RESTU SANG SUAMI

Januari 2003

Saya masih bingung untuk mengambil tawaran menjadi Duta Anti-Trafficking. Meski Vira dari International Centre for Labour Solidarity (ACILS) sudah mempromosikan gila-gilaan, mulai dari training dan visits ke lapangan untuk mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya tentang fakta tentang trafficking, lalu aku dijanjikan akan diberikan simulasi khusus untuk melakukan kampanye, pidato dan juga komunikasi dengan berbagai media yang akan dilatih langsung oleh pakar media dari Amerika, toh saya tetap belum bergeming.

Mampukah aku mengemban tugas sebagai Duta Anti-Trafficking?

Entah seperti bisa membaca pikiranku, James Davis juga berusaha meyakinkanku bahwa aku mampu mengemban tugas mulia itu. Oalah! Anyway, siapa pula James Davis? Dia itu adalah penasehat dari International Labour Organization (ILO) alias Organisasi Buruh di Amerika sana.

Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, David berkata, ”Soal waktu, jangan khawatir mbak Hughes. Kami akan datang untuk diskusi dengan mbak, satu minggu sekali. Masing-masing selama dua jam."

Yang dimaksud diskusi adalah membicarakan soal trafficking ini. Ya supaya saya semakin mengerti dengan persoalan trafficking. David pun berjanji, beberapa teman dari organisasi buruh dan organisasi perempuan akan dengan senang hati memberikan tutorial khusus padaku.

"Mbak boleh tentukan sendiri kapan punya waktu luang dan tempatnya mbak tentukan sendiri," ujar David.


Aku bersama Ibu Sumarni, Deputy Menteri Perlindungan Anak


Wah, enak juga ya? Aku makin diberi kemudahan.

Lanjut David, kegiatan menjadi Duta Anti-Trafficking ini memang murni kegiatan sosial dan pengabdian untuk negara. Jadi mereka tidak menganggarkan budget. Namun khusus untuk tahun 2003 ini, mereka mempersiapkan budget untuk mendanai perjalanan dan kampanye dari satu tempat ke tempat, termasuk sampai ke wilayah perbatasan Indonesia.

"O, begitu ya?" jawab saya menanggapi penjelasan David.

Aku masih duduk manis dan berfikir keras. Aku melirik pada suamiku yang saat ngobrol dengan David duduk di sebelahku. Aku menunggu reaksi suamiku. Positifkah atau malah negatif.

Terus terang, setiap kali mendapatkan job aku selalu bertukar pikiran terlebih dahulu pada suamiku. Bukan karena aku takut suami, lho. Bukan. Sebagai istri aku selalu menghargai suami. Meski bisa saja aku putuskan sendiri, tetapi buatku dalam sebuah rumah tangga harus ada yang namanya saling menghargai, apalagi konon seorang suami sangat merasa terhormat kalau sang istri minta saran atau pendapat.

”Kenapa Hughes mbak?" tiba-tiba suamiku bertanya pada mbak Vira. "Kan banyak presenter lain yang juga berpotensi mengemban tugas ini?”

Saya melihat, sebelum menjawab pertanyaan suamiku, Vira tersenyum. Senyumnya seperti ingin meyakinkan pada diri suamiku, bahwa aku adalah presenter yang tepat untuk menjadi Duta Anti-Trafficking ini. Sebab...

"Penunjukan Dewi Hughes menjadi Duta Anti-Trafficking ini sudah melalui proses yang lumayan panjang mas," ujar Vira. "Ada 13 nama selebriti yang direkomendasi oleh LSM, aktivis anak, dan perempuan, para pakar, dan kementrian. Lalu kami melakukan proses penyaringan dan tinggal 3 nama. Nama mbak Hughes ada di urutan pertama, karena latar belakang pendidikan dan kegiatan sosialnya yang selama ini selalu berhubungan dengan perempuan dan anak. Ditambah lagi, kami punya harapan yang besar pada mbak Hughes untuk bisa merangkul orang di pelosok tanah air dengan metode komunikasi yang tepat sasaran. Kami pikir mbak Hughes tepat, karena bisa diterima oleh semua kalangan."

Penjelasan Vira di atas itu membuatku tersanjung. Betapa tidak, ternyata penunjukan sebagai Duta Anti-Trafficking bukan main-main dan asal tunjuk, tetapi sudah melewati tahap penyeleksian.

"Apa yang terjadi kalau Hughes menolak?" tiba-tiba suamiki beratnya lagi.

Aku kaget dengan pertanyaannya. Kok, sinyalnya seperti suamiku tidak merestuiku jadi Duta Anti-Trafficking ya? Ah, tetapi kecurigaanku bisa jadi salah. Suamiku pasti cuma hendak menguji kesungguhan Vira dan David.

"Kami akan pindahkan tugas ini kepada selebriti di urutan kedua," kata Vira. "Tentu saja kami tidak bisa memaksa. Meskipun begitu, kami sangat berharap mas juga bisa ikut mendukung program ini, dengan memberi suport kepada mbak Hughes."

Aku melirik lagi ke suami. Berharap dia akan mengizinkanku mengikuti proyek menjadi Duta Anti-Trafficking ini. Apalgi melihat antusiasme teman-teman yang hadir di diskusi siang itu, aku jadi tidak tega untuk mengatakan tidak. Lagi pula apa salahnya aku keluar sejenak dari my comfort zone dan membuka diri untuk sesuatu yang baru? Toh aku tetap punya kebebasan untuk mengatakan tidak kalau nantinya aku pikir tidak sanggup. Bahkan di tengah training kalau aku tidak ingin melanjutkan pun mereka akan terima. Lagi pula sudah sangat lama aku tidak bergaul dengan dunia luar.

Namun sekali lagi, aku sangat menghargai suamiku. Aku boleh punya keinginan, namun suamiku pasti punya pemikiran. Kalau suamiku tidak mengizinkan, aku menghargai itu. Pasti ada pemikiran lain kenapa suamiku tidak mengizinkan aku ikut proyek ini. Meski pasti akan kecewa, tetapi aku bisa menerima.

What happend next?

Suamiku tesenyum. Matanya seperti menerobos ke mataku dan memberikan sinyal positif, dimana getarannya sampai ke hatiku. Saudaraku, aku bersyukur, suamiku akhirnya merestuiku. Momentum itulah yang membuat semakin bersemangat menjadi Duta Anti-Trafficking.

"LET"S DO IT!"

(bersambung)

TAK PERCAYA JADI DUTA ANTI-TRAFFICKING INDONESIA

Januari 2003,

Kemang Utara 31, Jakarta Selatan

Siang itu sepucuk surat berlogo burung Garuda iba di rumahku. Terus terang aku kaget dan sedikit takut. Pasalnya, selama ini aku merasa tidak punya urusan dengan negara. Kalau sampai dikirimi surat seperti itu, biasanya pasti karena ada teguran atas prilakuku yang barangkali tidak sesuai dengan pemerintah. Dag dig dug juga rasanya.


Meski jantung rasanya mau copot, surat itu lantas kubaca. Anda tahu isi surat itu? Begini isinya...


Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia menugaskan anda menjadi Duta Nasional Kampanye penghapusan perdagangan Manusia atau Duta Anti-Trafficking.


What? Aku tertegun. Aku tak tahu apa yang terjadi. Trafficking? Apa pula trafficking? Kok rasa-rasanya masih asing buatku. Apakah ada hubungannya dengan traffick light? Apakah aku sudah melakukan sebuah pelanggaran lalu lintas? Tapi mengapa yang mengirim suratnya Kementrian Perempuan, bukan Kepolisian. Dengan kebingungan itu, aku perlihatkan surat itu pada suamiku.


”Mending kita telepon saja,” usul suami saya.


Sahabatku, itulah awal kisah keterlibatanku pada dunia kejahatan perdagangan manusia ini dimulai. Dimana terminologi yang lazim digunakan saat ini adalah trafficking.


Ira -seorang aktivis buruh yang mewakili organisasi buruh Internasional atau dikenal dengan nama IInternational Labour Organisation ( ILO)- dan beberapa teman akhirnya mempertemukan saya dengan Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Tujuannya tidak lain adalah menindaklanjuti penunjukan saya sebagai Duta Anti-Trafficking.

”Mbak Hughes ngga harus bilang iya kok,” kata Deputy Menteri Pemberdayaan Perempuan memulai. pembicaraan "Kami tahu, isu ini belum banyak dikenal orang (maksudnya isu tentang trafficking). "Padahal human trafficking adalah kejahatan International terbesar setelah perdagangan senjata dan narkoba."


Saya mengangguk-angguk, karena baru mengerti begitu luar biasanya kejahatan trafficking. Sampai disejajarkan dengan perdagangan senjata dan narkoba. Mendengar itu saya bangga sekali. Betapa tidak, dengan menjadi Duta Anti-Trafficking, jelas saya diajak untuk mencegah kejahatan trafficking ini. Sebuah aktivitas yang luar biasa bukan?


"Negara sangat membutuhkan seorang juru bicara untuk bisa mengkampanyekan isu ini, supaya didengar, dipahami, dan diwaspadai oleh masyarakat Indonesia," tambah Deputy Menteri Pemberdayaan Perempuan.


Wow?!


Aku bersama ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan RI 2004-2009 Dr.Meuthia Hatta.






Lanjut Deputy Menteri Pemberdayaan Perempuan, pengangkatan Duta Trafficking ini merupakan rangkaian gerakan anti-trafficking di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia merespon positif gerakan ini dengan mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Manusia yang dicanangkan oleh Presiden RI Ibu Megawati Soekarnoputri.


"Ke depan kami akan mengajak mbak Hughes untuk ikut memperjuangkan rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang."


Aku bengong. Kepalaku pusing. Aku seruput capucino panas yang telah aku pesan dan ada di depanku sambil berpikir keras. Di otakku terdapat tanda tanya besar, dimana tanda tanya itu mengarah pada satu hal: POLITIK.


Sahabatku, aku tidak mau masuk dunia politik! Buatku dengan menjadi Duta Trafficking, itu sama saja masuk ke dunia politik. Aku ngeri! Aku juga tidak terlalu suka bekerja dalam lingkup birokrasi. Oh my God! dunia yang akan aku geluti nanti (trafficking) sama sekali berbeda dengan dunia yang sudah aku geluti selama ini, yakni dunia entertainment.


Bisa tidak ya aku masuk ke dunia yang baru ini?

”Betul mbak Hughes!” ucap Vira dari International Centre for Labour Solidarity (ACILS) bersemangat. ”Kalau pun akhirnya mbak Hughes bilang iya, you don’t have to do it sampai mbak Hughes yakin, bahwa peran ini sangat penting dan harus diambil dengan komitmen tinggi."


Oalah! Kok kayak maksa begitu ya?


Lanjut Vira, nanti aku akan diberikan beberapa training dan visits dalam rangka mengenal lebih dekat dengan masalah trafficking ini. Agar bisa mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya tentang fakta yang ada di lapangan. Setelah itu, konon katanya aku akan diberikan simulasi khusus untuk melakukan kampanye, pidato dan juga komunikasi dengan berbagai media, dimana semua itu akan dilatih langsung oleh pakar media dari Amerika.


Wow?!


Meski terkagum-kagum dengan promosi Vira, aku tetap bingung. Training? Jam berapa training-nya? Kan aku lagi banyak kerjaan, shooting aja sehari bisa dua acara, sampai lima episode pula. Jam berapa aku bisa keluar rumah? Sekarang aja hidupku cuma kerja dan kerja.


Sahabatku, aku ini tidak pernah boleh keluar rumah sendirian. Jangankan keluar rumah dan nyetir mobil seperti dulu, menjengguk mama saja aku tidak punya kesempatan. Gimana caranya aku bisa keluar rumah untuk training dan aktivitas sosial? Bergaul sama temen-temen untuk sekedar minum kopi aja aku tidak pernah.


Badanku pasti akan copot kalau harus ikut training lagi. Wong shooting-ku saja sangat padat. banget . sudah begitu, terbayang olehku kadangkala aku masih harus show di akhir minggu. Terus kapan aku bisa istirahat?


(bersambung)